KEBUMEN, Times7.id,- Pasca kedua rivalnya sudah mendeklarasikan diri dan mendaftar ke KPU sebagai bacapres dan bacawapres, Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto kini menjadi satu-satunya bakal calon presiden yang belum mengumumkan nama bakal calon wakil pendampingnya jelang Pilpres 2024.
Nama Gibran Rakabuming Raka makin santer disebut-sebut jadi kandidat kuat cawapres Prabowo Subianto. Usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan seseorang berusia di bawah 40 tahun jadi capres atau cawapres selama berpengalaman jadi kepala daerah di tingkat kota/kabupaten atau provinsi.
Praktisi Hukum Kebumen Muchammad Fandi Yusuf memandang Putusan MK Nomor 90/PUI-XXI/2023 yang mengabulkan gugatan soal syarat pencalonan presiden dan wakil presiden sudah final dan mengikat.
“Putusan MK yang keluar merupakan produk hukum ya harus dipatuhi sebagai hukum. Jelas sifatnya final mengikat,” jelas Fandi saat dijumpai di Kantornya Jl. Wilis RT.01/RW.03, Watubarut, Gemeksekti, Kecamatan/Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Sabtu (21/10/2023).
Aturan itu dianggap menjadi pengubah peta permainan Pilpres 2024 karena ada putra sulung Presiden Jokowi. Saat ini, Gibran baru berusia 36 tahun. Namun, sesuai putusan MK membuka peluang bagi Gibran yang belum berusia 40 tahun, tetapi memenuhi syarat sebagai cawapres yang sudah pernah menduduki jabatan publik karena terpilih melalui pemilu.
Sebelumnya, menurut Fandi sudah ada penelitian terkait usia 40 tahun dianggap usia yang mapan dan matang untuk dapat memimpin selevel negara. Dikhawatirkan calon pemimpin muda itu memiliki emosional yang labil dan minim pengalaman dalam memimpin sebuah negara.
Namun, terkait putusan MK perihal batas usia calon presiden dan wakil presiden, Fandi menganggap MK dalam hal ini terlibat dalam politik praktis.
Karena kalau mengacu pada UU Mahkamah Konstitusi, MK adalah lembaga yang punya kewenangan untuk uji materiil terhadap undang-undang yang diduga bertentangan dengan UUD 45.
“Jelas dalam hal ini MK sudah sedikit jauh melampaui kewenangannya. Tapi apapun itu, ini sudah menjadi putusan. Suka atau tidak suka putusan MK harus kita hargai dan kita terima,” ungkapnya.
Lebih lanjut Fandi menjelaskan putusan MK adalah putusan yang tidak ada upaya hukum, baik terkait Judicial Review atau sengketa pemilu. Makanya kenapa dikatakan bahwa putusan hakim konstitusi bersifat individu, final dan mengikat.
“Hakim MK itu seperti manusia setengah dewa, keputusannya mengikat, final dan tidak ada upaya hukum lain. Makanya banyak pakar hukum yang mengatakan diatas MK itu Tuhan,” pungkasnya.